Di tengah dinamika dunia pendidikan yang terus berkembang, seorang guru bukan hanya dituntut untuk menguasai materi ajar dan strategi pedagogis semata, melainkan juga harus memahami dimensi terdalam dari keberadaannya sebagai pendidik. Dalam kerangka psikologi pendidikan, para tokoh seperti Vygotsky, Piaget, Bruner, hingga Carl Rogers dan Howard Gardner telah menekankan pentingnya peran guru sebagai fasilitator, pembimbing, sekaligus teladan dalam proses tumbuh-kembang peserta didik.

Namun, lebih dari sekadar pendekatan psikologi Barat, kajian tasawuf dalam perspektif Islam khususnya melalui pemikiran Syekh Dr. Yedi Supriadi memberikan kedalaman makna yang jauh lebih hakiki. Beliau menempatkan guru sebagai sosok yang menyatukan lahir dan batin, jasad dan ruh, dalam peran mulianya. Dalam pandangan ini, guru bukan hanya pengajar (mu’allim), tetapi juga pembimbing jiwa (murabbi) dan penggerak kesadaran spiritual murid-muridnya.

Psikologi guru Islami yang bersumber dari tasawuf menjadikan transformasi batin sebagai fondasi utama. Guru dipandang sebagai manusia paripurna yang harus melewati tiga fase eksistensial: dari alam samar menuju alam sadar, hingga akhirnya mencapai alam fitrah. Pada titik inilah akan terpancar lima cahaya ruhani: Nurul Qolbi (cahaya hati), Nurunnafsi (jiwa), Nurul Akli (akal), Nurul Qauli (ucapan), dan Nurul Af‘ali (perilaku).